viralsumsel.com ,JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap kasus besar yang melibatkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Dalam penanganan kasus ini, KPK berhasil mengungkap praktik korupsi terkait dengan pencairan proyek pembangunan yang melibatkan pejabat dan pihak swasta.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Minggu, 15 Maret 2025, mengungkapkan bahwa sejumlah anggota DPRD OKU menagih komitmen fee atau imbalan atas proyek yang telah disetujui oleh pemerintah daerah.
Imbalan ini dijanjikan oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) OKU, Nopriansyah (NOP), dan direncanakan cair sebelum Hari Raya Idul Fitri 2025.
“Sejumlah anggota DPRD yang terlibat dalam penagihan fee proyek tersebut antara lain Ferlan Juliansyah (FJ), yang merupakan anggota Komisi III DPRD OKU, M Fahrudin (MFR) yang menjabat Ketua Komisi III, serta Umi Hartati (UH) selaku Ketua Komisi II DPRD OKU,” ujar Setyo Budiyanto.
Fee yang dimaksud berkaitan dengan sembilan proyek yang berasal dari pokok-pokok pikiran DPRD (pokir), yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah OKU.
Proyek-proyek ini meliputi berbagai pekerjaan besar, mulai dari rehabilitasi rumah dinas Bupati dan Wakil Bupati OKU, renovasi kantor Dinas PUPR OKU, perbaikan jalan, hingga pembangunan sejumlah jembatan yang terhubung dengan infrastruktur vital di daerah tersebut.
Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa Nopriansyah telah menjanjikan pencairan imbalan atau uang muka untuk proyek-proyek tersebut sebelum Lebaran. “Dana yang dijanjikan berupa uang muka sembilan proyek yang sudah disepakati dalam pokir DPRD,” imbuhnya.
Namun, di balik proses yang terlihat sah secara administratif, terungkaplah praktik ilegal yang melibatkan aliran uang yang diduga kuat merupakan suap. Dua pihak swasta, M Fauzi (MFZ) alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso (ASS), juga terjerat dalam kasus ini.
Keduanya diduga telah memberikan uang sebagai komitmen fee untuk para anggota DPRD dan Kepala Dinas PUPR. MFZ, melalui perantara, diketahui telah menyerahkan uang sejumlah Rp2,2 miliar kepada Nopriansyah yang sebagian besar digunakan untuk ‘menyelesaikan’ kewajiban yang ditagih oleh anggota DPRD tersebut.
KPK selanjutnya mengungkap bahwa pada awal Maret 2025, ASS juga menyerahkan uang sebesar Rp1,5 miliar kepada Nopriansyah. “Penyelidik KPK yang melakukan penggeledahan menemukan dan mengamankan uang senilai Rp2,6 miliar yang merupakan komitmen fee dari MFZ dan ASS,” kata Setyo Budiyanto.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan enam orang sebagai tersangka. Mereka terdiri dari Nopriansyah (Kadis PUPR OKU), tiga anggota DPRD OKU, yakni Ferlan Juliansyah, M Fahrudin, dan Umi Hartati, serta dua pihak swasta, M Fauzi dan Ahmad Sugeng Santoso.
Tersangka dijerat dengan Pasal 12 a, Pasal 12 b, dan Pasal 12 f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara itu, dua pihak swasta dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1 a atau b Undang-Undang yang sama terkait pemberian suap.
Kasus ini menambah panjang daftar tindakan korupsi yang melibatkan pejabat publik di tingkat daerah, dan menunjukkan betapa besar godaan bagi mereka yang duduk di posisi strategis dalam pengelolaan anggaran dan proyek pemerintah.
Praktik korupsi yang terungkap dalam kasus ini juga mengungkap bagaimana birokrasi dan politik bisa tumpang tindih dalam proses penentuan proyek-proyek pemerintah.
Melihat temuan-temuan yang terungkap, KPK tentu akan terus menyelidiki lebih dalam siapa saja yang mungkin terlibat dalam kasus ini, serta upaya-upaya lain yang perlu dilakukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Dalam kesempatan tersebut, Setyo Budiyanto juga mengimbau agar semua pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas mereka. Pemerintah daerah dan DPRD juga diharapkan untuk lebih transparan dan akuntabel dalam pengelolaan dana publik.
Kehadiran KPK dalam kasus ini memberikan harapan bahwa penegakan hukum terhadap korupsi dapat terus dilakukan dengan tegas, namun tantangan besar masih ada untuk membersihkan birokrasi dari praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan negara dan rakyat. (ant)